Archives

Kutemukan Diriku di Bawah Atap Nipa

Udara makin pengap. Terik mentari taj jua reda. Makin panas. Seakan kamar kost Agi berubah kejam. Mengusir pemiliknya. Dipandangnya langit-langit kamar yang dihiasi sebuah kipas angin mini. Kipas yang diharapkan memberikan kesejukan, malah mengeluarkan udara panas. Gerah rasanya tinggal di sana. Kamar dan seisinya bagai mengusir penghuninya. Keluarlah mencari angin sejuk nan segar! Yang dapat membuka mata hatimu.
Sementara Agi tak jua mengerti dengan suasana itu. Masih saja tinggal. Membaca sesekali merebahkan diri sambil menikmati udara pengap itu. Dia memang ingin menikmati keadaan rakyat kecil. Karena di rumahnya dia hidup bagi di istana dan perlakuan bagai pangeran. Dia anak seorang terkaya di Makassar. Bosan hidup mewah.
Agi sesekali memandang langit-langit kamarnya yang hanya berukuran tiga kali empat. Cukup mewah bila dibandingkan dengan anak kost-kost-an lain. Di sanalah dia menjalanai hidupnya. Makan, minum. Tidur dan belajar.
Semasa kecilnya, dia tak pernah kenal dengan masyarakat bawah. Yang ada hanya kemewahan. Olehnya itu, dia minta pada ayahandanya untuk tinggal kost selama kuliah. Agi berharap agar dia mampu mengenal dirinya dengan baik. Masyarakat luas terutama.
Pagi itu, Agi sampai ke kampus. Baru selangkah menginjak kampus, dia bertemu teman lamanya, Ipa.
“Hey sebentar sore ada acara kamu tidak? Kalau tidak, ikut sama aku aja. Ada acaraku”, Ipa mengajak.
“Iya sudah kalau gitu. Sebentar aku pasti ikut. Sekedar coba-coba. Cari pengalaman and teman…”.
Agi pun ikut. Tapi dia merasa tidak tertarik dengan acara seperti itu. Terkesan sekedar formalitas belaka. Tak ada yang bisa di banggakan.
Agi lalu kembali merebahkan diri di kamarnya. Beberapa menit kemudian, teman sekelasnya menelpon.
“Apa kabar kawan? Bisa tidak ke kampus sekarang. Ada acara…”, Wandi, temannya memanggil dibalik telpon.
Tanpa berfikir panjang, Agi mengambil scooternya. Segera meluncur ke kampusnya. Maklum mahasiswa baru yang sarat dengan penasaran. Ingin mencoba semua. Siapa yang panggil, dia pun ikut. Dia ingin menyamakan apa yang tergambar di imajinasinya dengan kejadian sesungguhnya.
Ditemukannya di sana, perdebatan panjang. Ternyata kajian ketuhanan. Dia pun ikut. Merasa bingung. Dia pun bertanya.
“Kalau Tuhan tidak terikat ruang dan waktu. Lalu Tuhan sebenarnya ada di mana? Kalau ada di arsy atau meliputi langit dan bumi, berarti Tuhan terikat dengan ruang dan waktu dong. Berarti bukan lagi Tuhan seperti yang dikatakan tadi…”, Bantah Agi. Akalnya tidak mampu samapi ke sana.
Sampai pagi mereka hanya memperdebatkan ketuhanan. Agi lalu pulang dengan keadaan sempoyongan. Ngantuk campur lelah. Dirasakannya ada yang kurang dalam kajian itu. Aspek kebutuhan jasmani. Otak diisi. Namun jasmani dikorbankan. Jiwanya pun memberontak.
Paginya, Agi mendapati temannya teriak di tengah jalan. Dihiasi dengan asap yang mengepul dan klakson kendaran yang macet total. Terdengar mereka menuntut penurunan harga BBM. Agi lalu mencaba lagi. Bergabung dan teriak beberapa menit. Dia terobsesi dengan retorika seniornya. Jiwanya terbakar untuk ikut.
Usai orasi, Agi bernaung dibawah pohon ketapan. Merenung sembari memandang kendaraan yang berhenti. Jiwanya koyak. Berkoar dan memberontak. Seakan merasa kasian pada rakyat yang sedang terhalangi. Haknya yang diteriakkan, namun mereka jadi korban jua.
Pagi yang cerah. Secerah mentari di ufuk timur. Hari libur yang bersahabat dengan cuaca. Agi menggunanakan liburnya dengan jalan menusuri lorong-lorong tikus di antara bagunan mewah bercampur kumuh. Hidup berdampingan.
Sudah beberapa hari dia jalan kaki untuk melihat keadaan di sekitarnya. Namun kali ini dia menemukan keunikan dan ketertarika tersendiri. Agi melihat nenek tua. Lahir sekitar tahun empat puluhan yang lalu. Pada masa penjajahan.
Agi merasa tertarik dengan keadaan nenek itu. Lalu Agi masuk ke gubuk kumuh itu. Tempat wanita yang hanya tinggal sebatang kara. Gubuk yang beratapkan daun nipa.
“Nenek tinggal dengan siapa? Dan hidup dari mana?”. Agi memulai pembicaraan.
“Nenek hanya tinggal sendiri nak. Pernah punya anak laki-laki, namun dia pun entah ke mana. Sejak dia ke Malaysia menjadi TKI, nenek tak pernah mendengar kabarnya lagi. Hanya ada kabar angina bahwa dia sudah meninggal. Nenek tidak tau entah sebab apa dia meninggal. Tak ada kabar jelas”. Nenek itu bercerita panjang lebar sambil mengusap-usap matanya. Air matanya menetes.
“Lalu nek.. apa yang dikerja tiap hari?”.
“Nenek hanya mengumpulkan kaleng-kaleng bekas untuk menyambung hidup. Biasa ada paginya tak ada siang. Begitulah seterusnya. Namun sesekali nenek dapat sedekah dari tetangga”.
“Apa nenek tidak merasa kesepian?”. Agi makin ingin tau lebih jauh. Kelihatannya nenek itu terlihat bijak menjalani hidupnya.
“Terkadang kesepian. Tapi itu hal wajar. Nenek merasa bahagia karena masih bisa bertahan hidup. Dibanding dengan orang kaya yang tidak tahan hidup. Dan akhirnya bunuh diri. Nenek mungkin lebih bahagia dari sebagian orang kaya. Yang tidak bisa mengatur hartanya. Nenek merasakan segalanya dengan bermimpi. Bermimpi saja sudah cukup bahagia”. Nenek itu memandang Agi dengan tajam. Seakan ada sesuatu yang ingin disampaikannya.
“Nak… jika kelak kamu ditakdirkan menjadi orang besar, perhatikanlah rakyat kecil. Seringlah turun melihat keadaan mereka. Belajarlah dari sekarang untuk bersentuhan denagn kalangan bawah. Untuk merasakan penderitaan mereka. Turutlah diberbagai aksi-aksi social. Menghijaukan lingkungan dan ikut menjaga kebersihan”.
Agi pun pulang dengan sejuta tanda tanya bercampur rasa penasaran pada nenek itu. Dia mendapat renungan yang menarik. Petuah-petuah orang tua. Jiwanya terasa tenang. Entah kenapa, baru kali ini dia mengalami kenyamanan yang belum dirasakannya.
Agi merasa penasaran dengan nenek itu. Agi lalu mendatanginya. Ditemukannya selembar foto yang memakai seragam loreng. Terlihat cantik dan gagah. Mungkin nenek itu sewaktu muda. Pernah menjadi pejuang wanita untuk membela bangsa dan negeri ini. Kini nenek itu tak diperhatikan lagi oleh pemerintah. Menurut nenek itu, dia pernah dicatat sebagai pemberontak. Sehingga dia tak mendapat perlakuan yang sama dengan pejuang lain. Namun menurutnya, pernah memang memberontak namun dia hanya memeprjuangkan keadilan.
Lalu Agi pun kembali dan bertekad untuk aktif melakukan aksi-aksi kemanusianan. Seperti yang dikatakan nenek bijka itu. Dia menemukan jati dirinya lewat petuah-petuah nenek itu. (***)

Gowa, 27 April 2009
READ MORE - Kutemukan Diriku di Bawah Atap Nipa

These icons link to social bookmarking sites where readers can share and discover new web pages.
  • Digg
  • Sphinn
  • del.icio.us
  • Facebook
  • Mixx
  • Google
  • Furl
  • Reddit
  • Spurl
  • StumbleUpon
  • Technorati

Nostalgia Sumbangan di Hari Kampanye

Langit tertutup awan. Angin berhembus sepoi-sepoi. Terasa sejuk udara pagi itu. Terik mentari pun tak jua muncul. Seakan cuaca ingin menyampaikan pesan tersendiri bagi insan yang hendak bepergian. Pergilah dan nikmatilah perjalananmu!
Pagi itu, Hafid salah seorang Caleg tingkat dua bergegas meninggalkan kediamannya. Hendak ia ke rumah temannya, Iksan. Memperkuat ikatan kesepakatan sebelumnya. Menjadi perpanjangan tangannya di kampung itu. Tim sukses bisa dibilang.
“Ada di pos ronda main domino”.
Itulah jawaban orang-orang di kampung jika ada yang menanyakan keberadaan Hafid beberapa bulan terakhir. Seorang pengangguran memberanikan diri jadi Caleg. Dengan harapan mengubah nasibnya.
Hari-hari menjelang pesta demokrasi, Hafid terlihat sibuk dengan pakaian rapi. Pergi pagi pulang pagi. Sibuk sosialisasikan diri dan partainya. Iyah… maklum partai baru. Umurnya baru setahun. Terlalu muda untuk bersaing dengan partai lama. Namun bagi Hafid tak menjadi persoalan. Ia selalu optimis. Yang penting usaha dulu. Apalagi masyarakat selalu menyambut baik tiap ia datang ke setiap kampung.
“Bagaimana keadaan di sini?”, Hafid memulai pembicaraan sesampainya ia ke rumah Iksan.
“Persaingan ketat. Tapi sabar saja. Sudah ada kontrak politik dengan beberapa tokoh masyarakat di sekita sini”, Iksan mencoba memberi semangat pada temannya.
“Apa yang sudah dilakukan Caleg lain di kampung ini? Siapa tau saya juga bisa bantu”.
“Banyak yang membagi-bagikan sarung, baju, jilbab, bibit, herbisida dan macam-macam deh. Pokoknya banyak”.
Iksan cerita banyak dengan Hafid. Mulai bicara strategi merebut simpati dan suara masyarakat. Sampai bagaimana menjatuhkan lawan yang dianggap paling berpengaruh di kampung itu. Akhirnya mereka mendapat kesepakatan. Yaitu dengan memperbanyak sumbangan yang bisa dinikmati masyarakat banyak dan harus banyak uang untuk menyaingi Caleg lain.
“Bagaimana kalau kita sumbang saja lampu jalan. Berhubung karena sepanjang jalan ini masih sangat gelap di waktu malam. Lagi pula belum ada Caleg lain yang lebih dulu. Pasti masyarakat simpati”. Usul Iksan.
“Boleh juga. Tapi sekitar berapa kira-kira yang dibutuhkan?”, Hafid menyetujui
“Satu desa saja. Sekitar dua pulahan buah. Pokoknya saya yang bertanggung jawab untuk desa ini”, tutur Iksan.
“Bagus juga mungkin pak kalau kita sumbang juga mesjid. Kebetulan di mesjid kita ini baru dibangun. Belum ada uang untuk atapnya. Mungkin bisa seperduanya saja kalau bisa”, usul orang tua yang dari tadi tidak pernah menyahut.
Hafid menatap baling-baling kipas yang sedang berputar. Ia berpikir dengan usul orang tua tadi. Berpikir berapa dana yang dibutuhkan. Efektif tidak. Cukup tidak keungan yang ada sekarang.
“Minta dana saja di Caleg pusat”, pikir Hafid menemukan solusi.
“Baiklah… saya akan sumbang mesjid kita ini. Tapi dengan sayrat masyarakat di sini mau bersatu memilih saya”, Hafid menyatakan kesetujuannya.
Beberapa hari kemudian, teranglah kampung itu dengan sinar lampu jalan. Atap mesjid pun tiba. Tinggal dipasang. Masyarakat pun menikmati detik-detik Pemilu. Namun Caleg lainpun tak mau ketinggalan. Mereka tidak menyumbang tempat umum, tapi gerakannya langsung menyentuh dari rumah ke rumah. Memberikan sumbangan bersyarat pada siapa saja yang mau. Tapi hanya sedikit yang tidak mau.
Tiap rumah didatangi, selalu disambut baik. Dan mengatakan belum ada yang datang selain kamu. Lalu Hafid pun tambah optimis akan kemenangannya. Uangnya pun tak segan-segan keluar dari kantongnya.
Kini Pemilu segera tiba. Tinggal hitungan jam. Masyarakat di desa itu hampir tak dapat menikmati tidurnya. Lebih-lebih para panitia Pemilu. Turun Caleg yang satu, naik yang lainnya. Serangan fajar. Malam itu hampir tiap kampung seakang banjir uang. Sepuluh ribu. Dua pulu ribu, lima puluh ribu. Seratus. Bahkan ada yang membeli satu juta perkepala. Bukan main persaingan. Orang bilang, orang miskin dilarang jadi Caleg.
Sementara Hafid tak tidur jua. Keliling Dapilnya untuk mempererat ikatannya. Mendatangi seluruh tim suksesnya. Namun ia hanya mampu memberikan uang jalan khusus untuk timnya saja. Hafid tak punya peluru banyak. Uangnya habis untuk sumbangan. Sedikit sekali persiapan serangan fajarnya. Hampir tidak ada. Ia hanya berserah diri pada Tuhannya. Apa kehendaknya. Takdir telah tercatat.
Tak terasa mentari mulai muncul. Menyinari jagat raya. Para anggota KPPS pun sibuk. Wajib pilih pun mulai berdatangan. Saatnya panitia bereaksi. Mereka telah dibayar banyak oleh Caleg tertentu. Termasuk pemerintah setempat. Mereka telah sepakat menggolkan figure tertentu. Sumbanganpun tak teringat. Uang ratusan jutapun tak berarti. Panitialah yang banyak berperan. Mereka mengambil kesempatan bagi orang tua yang buta huruf. Memandu mereka. Belum lagi masyarakat diintimidasi. Diancam guna mengarahkan pada Caleg tertentu. Penggelembungan suara bukan hal yang sulit bagi panitia. Itulah banyak yang terjadi. Kerjasamannya terstruktur.
Seusai perhitungan. Hafid memantau suara yang berhasil ia dapat. Minim sekali. Tak ia sangka hasilnya akan seperti itu. Mengecewakan. Lalu Hafid pun kembali ke rumahnya. Hafid menerima pesan singkat dari berbagai timnya. Namun tak ada yang menggembirakan. Tak ada yang menang satu TPS pun.
Sehari kemudian, Hafid lalu memanggil Yusran, tetangganya yang punya mobil pic up. Menarik sumbangannya yang di masyarakat. Atap mesjid. Lampu jalan dan berbagai sumbangan lainnya disita.
“Dasar masyarakat. Semuanya penghianat. Perbuatan baik kita selama ini terkubur dengan uang sepuluh ribu. Sungguh masyarakat sudah berubah. Semua memikirkan dirinya sendiri. Tak ada lagi yang bisa dipercaya. Mereka tak dapat dibaca...”, gerutu Hafid sambil menghisap udara dalam-dalam.(***)
Special buat para Caleg yang gagal. Semoga menjadi bahan pembelajaran. Bukan malah stresszzz…
Gowa, April 2009
READ MORE - Nostalgia Sumbangan di Hari Kampanye

These icons link to social bookmarking sites where readers can share and discover new web pages.
  • Digg
  • Sphinn
  • del.icio.us
  • Facebook
  • Mixx
  • Google
  • Furl
  • Reddit
  • Spurl
  • StumbleUpon
  • Technorati