Sunyi senyap malam itu. Jam pun tak berdetak. Tisha dalam kesendirian menatap langit-langit kamarnya. Sesekali memandang ke arah rak bukunya yang masih tersusun rapi. Ia merenungi nasibnya yang malang. Hatinya terasa gelisah. Matanya tak kunjung terpejam.

Jarum jam terus bergeser. Lima puluh menit telah berlalu dari angka tiga. Matanya belum jua lelap. Berbagai macam persoalan kembali merasuki pikirannya. Masalah kampus. Organisasi dan keluarga. Sesekali teringat akan dirinya yang makin hari makin tak jelas. Tisha berusaha melawan semua pikirannya yang megusik ketenangan. Ia berusaha memejamkan matanya yang sudah terlalu lelah.

Selang beberapa menit, adzan mengalung merdu ke angkasa. Mata mungil itu langsung membelalak kaget.

“Sudah subuh…”, bisiknya dalam hati.

Cepat ia bergegas menuju kamar mandi. Cuci muka dan berwudhu. Diraihnya mukenah dan sajadah berwarna biru langit itu. Ia berusaha untuk melawan hawa nafsunya. Berusaha shalat dengan harapan agar dirinya lekas keluar dari permasalahan hidupnya.

Usai shalat, Tisha kembali merebahkan badannya di lantai kamar. Selang beberapa menit matanya terpejam dan tertidur pulas.

Siang itu, Tisha bangun dengan kepala agak berat. Banyak beban pikiran yang dalam batok kepalanya. Beribu pertanyaan yang tak kunjung terjawab. Jalaban teka-teki hidupnya belum ia pecahkan.

“Mengana aku sangat sulit bajía? Mengana orang tuaku tak pernah mau mengerti keinginanku? Aku ditelantarkan bagai ayam yang tak punya induk. Padahal aku pergi dengan niat baik. Ingin menuntut ilmu. Mengapa orang tuaku tak merestuiku? Aku berjanji akan bertahan hidup dengan hasil keringatku sendiri. Harusss!!!”, bisiknya dalam hati.

Ah… dunia memang kejam. Mau hidup baik malah tak direstui. Maksud hati berbuat baik. Tapi hidup berkehendak lain. Apa gunanya hidup dalam moral yang berhiaskan kebaikan. Namun pada akhirnya akan mati dalam keadaan terpaksa. Mati kelaparan. Dibenci karena terlalu jujur. Mengagung-agungkan kebenaran tak selamanya berbuah manis.

Tisha sudah berusaha sekuat tenaga untuk mempertahankan hidup. Mencari kerja. kerja sambil kuliah. Namun tetap saja tak berhasil. Terkadang hanya beberapa bulan saja bekerja sudah dipecat. Melamar lagi. Diterima. Dipecat lagi.

Malam minggu itu, Tisha mendapat telpon dari bosnya. Tempat ia bekerja. Ia diajak keluar makan malam sambil menikmati udara dingin.

“Ada waktumu untuk menemani aku makan malam? Ada acara sekaligus membicarakan perkembangan perusahaan. Bagaimana?”, ajak bosnya dengan wajah penuh harap.

“Baiklah kalau begitu”.

Malam telah larut. Mereka masih asyik menikmati riak gelombang laut. Terlalu indah pantai itu. Sehingga mereka tak kunjung pulang. Bagi Tisha itu adalah waktu untuk melupakan masalahnya. Namun bagi bosnya itu adalah kesmpatan untuk lebih dekat dengan Tisha.

“Tisha… Bagaimana kalau malam ini kita bermalam di hotel saja. Aku ingin membantumu untuk melupakan masalahmu”, ajak bosnya dengan nada mesra lagi lembut, sembari meraih tangan Tisha.

Tisha sempat berpikir. Namun karena ia diberi iming-iming akan dibayar dengan jumlah yang tak sedikit, dan ditambah dengan jaminan kerja yang aman. Sehingga Tisha menerima tawaran itu.

Dalam kamar hotel yang berbintang lima itu, Tisha memandang ke arah jendela kamar. Ia berbisik dalam hatinya. “Tuhan aku akan melakukan yang mungkin sangat engkau laknat. Tapi kumohon izinkan aku untuk kali ini saja. Setetes saja untuk menyambung hidupku. Aku takut padamu. Ini semua kulakukan demi mempertahankan hidup. Supaya aku bisa hidup lebih sejahtera”. (***)

Gowa, Juni 2009

These icons link to social bookmarking sites where readers can share and discover new web pages.
  • Digg
  • Sphinn
  • del.icio.us
  • Facebook
  • Mixx
  • Google
  • Furl
  • Reddit
  • Spurl
  • StumbleUpon
  • Technorati