Langit tertutup awan. Angin berhembus sepoi-sepoi. Terasa sejuk udara pagi itu. Terik mentari pun tak jua muncul. Seakan cuaca ingin menyampaikan pesan tersendiri bagi insan yang hendak bepergian. Pergilah dan nikmatilah perjalananmu!
Pagi itu, Hafid salah seorang Caleg tingkat dua bergegas meninggalkan kediamannya. Hendak ia ke rumah temannya, Iksan. Memperkuat ikatan kesepakatan sebelumnya. Menjadi perpanjangan tangannya di kampung itu. Tim sukses bisa dibilang.
“Ada di pos ronda main domino”.
Itulah jawaban orang-orang di kampung jika ada yang menanyakan keberadaan Hafid beberapa bulan terakhir. Seorang pengangguran memberanikan diri jadi Caleg. Dengan harapan mengubah nasibnya.
Hari-hari menjelang pesta demokrasi, Hafid terlihat sibuk dengan pakaian rapi. Pergi pagi pulang pagi. Sibuk sosialisasikan diri dan partainya. Iyah… maklum partai baru. Umurnya baru setahun. Terlalu muda untuk bersaing dengan partai lama. Namun bagi Hafid tak menjadi persoalan. Ia selalu optimis. Yang penting usaha dulu. Apalagi masyarakat selalu menyambut baik tiap ia datang ke setiap kampung.
“Bagaimana keadaan di sini?”, Hafid memulai pembicaraan sesampainya ia ke rumah Iksan.
“Persaingan ketat. Tapi sabar saja. Sudah ada kontrak politik dengan beberapa tokoh masyarakat di sekita sini”, Iksan mencoba memberi semangat pada temannya.
“Apa yang sudah dilakukan Caleg lain di kampung ini? Siapa tau saya juga bisa bantu”.
“Banyak yang membagi-bagikan sarung, baju, jilbab, bibit, herbisida dan macam-macam deh. Pokoknya banyak”.
Iksan cerita banyak dengan Hafid. Mulai bicara strategi merebut simpati dan suara masyarakat. Sampai bagaimana menjatuhkan lawan yang dianggap paling berpengaruh di kampung itu. Akhirnya mereka mendapat kesepakatan. Yaitu dengan memperbanyak sumbangan yang bisa dinikmati masyarakat banyak dan harus banyak uang untuk menyaingi Caleg lain.
“Bagaimana kalau kita sumbang saja lampu jalan. Berhubung karena sepanjang jalan ini masih sangat gelap di waktu malam. Lagi pula belum ada Caleg lain yang lebih dulu. Pasti masyarakat simpati”. Usul Iksan.
“Boleh juga. Tapi sekitar berapa kira-kira yang dibutuhkan?”, Hafid menyetujui
“Satu desa saja. Sekitar dua pulahan buah. Pokoknya saya yang bertanggung jawab untuk desa ini”, tutur Iksan.
“Bagus juga mungkin pak kalau kita sumbang juga mesjid. Kebetulan di mesjid kita ini baru dibangun. Belum ada uang untuk atapnya. Mungkin bisa seperduanya saja kalau bisa”, usul orang tua yang dari tadi tidak pernah menyahut.
Hafid menatap baling-baling kipas yang sedang berputar. Ia berpikir dengan usul orang tua tadi. Berpikir berapa dana yang dibutuhkan. Efektif tidak. Cukup tidak keungan yang ada sekarang.
“Minta dana saja di Caleg pusat”, pikir Hafid menemukan solusi.
“Baiklah… saya akan sumbang mesjid kita ini. Tapi dengan sayrat masyarakat di sini mau bersatu memilih saya”, Hafid menyatakan kesetujuannya.
Beberapa hari kemudian, teranglah kampung itu dengan sinar lampu jalan. Atap mesjid pun tiba. Tinggal dipasang. Masyarakat pun menikmati detik-detik Pemilu. Namun Caleg lainpun tak mau ketinggalan. Mereka tidak menyumbang tempat umum, tapi gerakannya langsung menyentuh dari rumah ke rumah. Memberikan sumbangan bersyarat pada siapa saja yang mau. Tapi hanya sedikit yang tidak mau.
Tiap rumah didatangi, selalu disambut baik. Dan mengatakan belum ada yang datang selain kamu. Lalu Hafid pun tambah optimis akan kemenangannya. Uangnya pun tak segan-segan keluar dari kantongnya.
Kini Pemilu segera tiba. Tinggal hitungan jam. Masyarakat di desa itu hampir tak dapat menikmati tidurnya. Lebih-lebih para panitia Pemilu. Turun Caleg yang satu, naik yang lainnya. Serangan fajar. Malam itu hampir tiap kampung seakang banjir uang. Sepuluh ribu. Dua pulu ribu, lima puluh ribu. Seratus. Bahkan ada yang membeli satu juta perkepala. Bukan main persaingan. Orang bilang, orang miskin dilarang jadi Caleg.
Sementara Hafid tak tidur jua. Keliling Dapilnya untuk mempererat ikatannya. Mendatangi seluruh tim suksesnya. Namun ia hanya mampu memberikan uang jalan khusus untuk timnya saja. Hafid tak punya peluru banyak. Uangnya habis untuk sumbangan. Sedikit sekali persiapan serangan fajarnya. Hampir tidak ada. Ia hanya berserah diri pada Tuhannya. Apa kehendaknya. Takdir telah tercatat.
Tak terasa mentari mulai muncul. Menyinari jagat raya. Para anggota KPPS pun sibuk. Wajib pilih pun mulai berdatangan. Saatnya panitia bereaksi. Mereka telah dibayar banyak oleh Caleg tertentu. Termasuk pemerintah setempat. Mereka telah sepakat menggolkan figure tertentu. Sumbanganpun tak teringat. Uang ratusan jutapun tak berarti. Panitialah yang banyak berperan. Mereka mengambil kesempatan bagi orang tua yang buta huruf. Memandu mereka. Belum lagi masyarakat diintimidasi. Diancam guna mengarahkan pada Caleg tertentu. Penggelembungan suara bukan hal yang sulit bagi panitia. Itulah banyak yang terjadi. Kerjasamannya terstruktur.
Seusai perhitungan. Hafid memantau suara yang berhasil ia dapat. Minim sekali. Tak ia sangka hasilnya akan seperti itu. Mengecewakan. Lalu Hafid pun kembali ke rumahnya. Hafid menerima pesan singkat dari berbagai timnya. Namun tak ada yang menggembirakan. Tak ada yang menang satu TPS pun.
Sehari kemudian, Hafid lalu memanggil Yusran, tetangganya yang punya mobil pic up. Menarik sumbangannya yang di masyarakat. Atap mesjid. Lampu jalan dan berbagai sumbangan lainnya disita.
“Dasar masyarakat. Semuanya penghianat. Perbuatan baik kita selama ini terkubur dengan uang sepuluh ribu. Sungguh masyarakat sudah berubah. Semua memikirkan dirinya sendiri. Tak ada lagi yang bisa dipercaya. Mereka tak dapat dibaca...”, gerutu Hafid sambil menghisap udara dalam-dalam.(***)
Special buat para Caleg yang gagal. Semoga menjadi bahan pembelajaran. Bukan malah stresszzz…
Gowa, April 2009

These icons link to social bookmarking sites where readers can share and discover new web pages.
  • Digg
  • Sphinn
  • del.icio.us
  • Facebook
  • Mixx
  • Google
  • Furl
  • Reddit
  • Spurl
  • StumbleUpon
  • Technorati