Saat mentari menatapku, aku hanya mampu bercerita. Tentang diriku. Tentang hidupku. Aku selalu berdo’a pada Tuhan. Moga suatu saat aku mampu memberikan sesuatu yang berharga bagi siapapun yang mengenalku. Termasuk yang sempat baca tulisan ini. Dan orang yang pernah mengklik link yang menuju ke situsku. Amin.. dan moga orang yang pernah menatapku menajadi mentari dalam hidupku. Penerang dalam mengarungi hidupku yang teramat labil.
Sejak kecil, aku sudah diajar mengenal agama. Tentang baik dan salah. Mengaji. Belajar dan bermain. Sehari-hariku sepulang sekolah adalah pergi ke hutan, mencari kayu bakar untuk keperluan dapur. Itulah aktivitas yang menjadi rutinitas hidupku.
Kelas enam sekolah dasar, aku mulai ditinggal orang tua di rumah sendirian. Di sebuah kampung di pedalaman Kabupaten Gowa, namanya Rannaloe. Orang tuaku sudah punya rumah di kampung sebelah yang sedikit lebih dekat dengan kota. Namanya Sapakeke. Masih tetangga kampung. Dan juga lebih dekat dengan pasar desa. Maklum orang tuaku adalah penjual pakaian di samping bertani. Jadi setiap hari rabunya mereka ke pasar. Antara pasar dengan tempat tinggalku sekitar 15 kilometer. Belum lagi sungai yang terpampang luas membatasi kampungku dengan pasar mingguan itu. Bukit dan pendakian yang terjal membuat perjalanan lebih menantang. Itulah alasan orang tuaku mengapa mereka pindah ke kampung sebelah. Dan aku ditinggal sendirian pada usia anak-anak tanpa ada orang dewasa mengurusiku.
Rumahku berada di sudut lapangan kampung itu. Dibelakangnya terdapat ”saukang” atau tempat memuja orang-orang kampung yang masih setia terhadap sesembahan leluhur mereka. Konon tempatnya keramat. Tapi aku tidak terlalu takut tinggal di rumahku.
Hidup sendiri kadang membuatku gelisah. Tapi juga mendidik menjadi pribadi yang bermental mandiri. Paling tidak mampu bertahan hidup dalam istana kemiskinan. Sampai sekarang aku masih sulit membayangkan mengapa seusia itu aku sudah mampu hidup tanpa orang tua di sisiku.
Setiap malamnya aku ditemani teman-teman seusiaku. Sesekali datang kakek buyutku yang kala itu sudah berumur lebih seratus tahun. Namun masih bisa jalan. Saya juga terkadang heran dengan kakek. Tapi itulah kenyataan. Setiap kakekku bermalam bersamaku, aku selalu meminta bercerita masa lalunya. Masa perang memperjuangkan kemerdekaan. Sesekali disuguhi dongen pengantar tidur. Aku banyak mengambil khazanah dalam hidup kakek buyutku.
Pernah suatu ketika, menjelan ashar hujan lebat. Hujan itu tak pernah berhenti sampai magrib tiba. Waktu itu teman-temanku tak satupun yang datang bermalam. Mungkin karena hujan. Berniat pergi mencari teman juga aku tak mau. Sehingga aku tidur sendirian dalam rumah. Aku tak terlalu merasakan ketakutan karena azan magrib berkumandang aku langsung sahalat lalu pergi tidur. Hanya sebuah lampu pelita yang menemaniku sampai subuh memanggil.
Setelah kelas tiga Madrasah Tsanawiyah GUPPI Rannaloe, orang tuaku memanggiku hidup bersamanya. Mereka beralasan sedih melihat aku hidup tak karuang. Badan kurus kering karena tak peduli makan. Kalau sudah asyik bermain makan sudah dilupakan. Perut ini terasa kenyang, walau seharian tak pernah makan. Mungkin inilah asyiknya ngumpul. Orang jawa bilang ’biar nggak makan yang penting ngumpul’.
Aku pindah sekolah ke kampung tempat tinggal orang tuaku. Sekolahnya pada dasarnya sama. Madrasah Tsanawiyah. Hanya nama kampungnya yang beda. Semuanya GUPPI. Di madrasah itulah aku menyelesaikan studiku. Dan di kampung itulah orang tuaku tinggal sampai sekarang.
Setelah aku lulus di situ, aku melanjutkan sekolah ke madrasah aliyah GUPPI Samata Gowa. GUPPI itu adalah kependekan dari Gabungan Usaha Perbaikan Pendidikan Islam. Konon yayasan ini adalah organisasi sayap partai Golkar. Dulu diresmikan langsung oleh presiden Republik Indonesia, Jenderal Soeharto saat itu.
Di sana aku menjalani hidup di pondokan. Banyak belajar hidup dan agama. Sejak Aku sekolah, selalu masuk sepuluh besar. Sejak duduk madrasah ibtidaiyah (SD) aku tak pernah dibawah peringkat tiga. Bukan sombong tapi itu sekedar memberi tau aja. Tidak apa-apa kan? Naik Tsanawiyah peringkat satu hingga kelas dua. Nanti aku pindah baru peringkatku langsung turun peringkat lima. Di sini aku sadar bahwa kemampuanku tak ada yang bisa dibanggakan. Tapi setelah naik kelas tiga Aliyah, aku sudah bertekad bersaing sampai aku berhasil merebut peringkat kedua.
Sejak sekolah, aku tak pernah duduk di bangku sekolah umum. Selalu di madrasah. Bahkan sampai aku kuliah pun tetap di institusi agama. Tahun 2006 aku masuk Universitas Islam Negeri Alauddin Makassar. Jurusan yang aku pilih memang tidak berbau islam. Tapi tetap dinaungi Fakultas Dakwah dan Komunikasi. Apalagi UIN, jelas-jelas Islamnya.
Jenjang pendidikanku memang berlabel agama semua. Namun entah mengapa aku tetap belum terlalu banyak mengerti agama? Tingkah laku ku pun terkadang tak islami. Mungkin pengaruh zaman. Atau mungkin aku saja yang tak mampu melawan arus hidup yang terkadang kejam.

* * *

Cerpen dalam blog ini sebenarnya adalah hasil perkawinan antara realitas dengan imajinasiku. Aku berusaha untuk mengawinkan peristiwa-peristiwa yang aku amati dan alami. Aku ingin cerita yang kutuankan dalam blog ini dapat memberikan pelajaran dan hikmah dalam hidup ini. Semoga dalam kehidupan ini dapat hidup lebih bijak dan lebih estetik. Di samping sebagai penghibur dalam sedih. Sebagai pelipur dalam lara.
Jujur, aku ingin menegur, mengkritik, menghibur dan mendidik dengan cerita dan rangkaian kata. Menegur dengan halus. Menghibur dengan cara mengajak berpetualang dalam imajinasi. Mengkritik dengan lembut. Mendidik secara tak langsung. Itulah misiku dalam menulis. Aku bahagia ketika ada orang yang terhibur dan berubah karena tulisan ini.
Itulah sedikit perjalanan hidupku yang terkadang tak berarti. Tentangku. Tentang perjalanan hidupku. Semoga dapat menjadi ibrah bagi pembaca. Amin...

Wassalam dan salam perjuangan !

These icons link to social bookmarking sites where readers can share and discover new web pages.
  • Digg
  • Sphinn
  • del.icio.us
  • Facebook
  • Mixx
  • Google
  • Furl
  • Reddit
  • Spurl
  • StumbleUpon
  • Technorati