Hari itu mentari seakan membakar kulit. Garang sekali. Tak pandang sahabat. Keluarga. Atasan. Apalagi orang-orang kecil yang tak mampu melawan dan melindungi diri dari sengatan panasnya. Marah mungkin. Akupun merasakannya. Pepohonan yang dulu menjadi teman akrabku, yang selalu melindungi. Kini juga tak mampu menghalanginya. Pohon pun tak kuasa menepis sihir-sihir debu yang semakin hari makin juga kejam.

Aku perhatikan tumbuh-tumbuhan, dia semakin layu. Lesuh. Dan juga mungkin lelah dan kehausan oleh belaian kasih-sayang. Sangat rindu. Jarang lagi hadir sosok idaman dan pahlawan hidupnya. Sang pangeran hujan jarang lagi menghampirinya. Tak ada lagi siraman kasih sayang. Elusan mesrah dan sejuta perhatian hanya tinggal masa lalu. Dia mati dalam keadaan kelaparan. Tak pernah ada perhatian dari makhluk sekelilinnya.

Aku alihkan pandangan. Kutatap dalam-dalam. Aku lihat kepalanya sudah mulai gundul. Bahkan bulu-bulunya yang lain sudah hampir tercukur. Lalu aku bertanya padanya.

”Apa yang membuat rambutmu mulai berguguran?”.

“Aku dicukur terpaksa oleh tangan-tangan yang tak bertanggung jawab. Aku tak kuasa melarangnya. Walau majikanku telah melarangnya, tapi mereka tak pernah mendengar”.

”Lalu? apa yang akan kamu lakukan untuk memberi pelajaran pada mereka?”.

”Aku tidak mau lagi menjadi budak mereka. Aku tak mau bekerja menghasilkan air lagi. Bahkan kalau mereka tak mau berhenti mengeksploitasi diriku, aku akan menghajarnya jika kemarahanku sampai pada puncaknya”.

Akupun teringat akan dirinku. Rasa sakit yang aku derita semakin parah. Aku sesekali memberinya peringatan padanya. Namun mereka tak juga kapok mengeruk kekayaanku. Badan ini sakit terasa dibacok kiri kanan. Mereka tak pernah memperhatikan kesejahteraanku. Habis manis sepah dibuang. Itulah mungkin kata yang cocok dengan keadaan yang aku alami.

Sungguh kejam manusia. Begitu dalam benakku. Mereka merobek kulitku. Lalu mengambil daging-dagingku. Bahkan sampai pada urat nadiku dibobolnya. Sehingga darah mengalir tiada henti. Mereka berusaha menutupnya. Namun itu tak mampu mereka sembuhkan.

Yang paling membuat aku geram melihat ulah mereka adalah ketamakan. Sampai-sampai mereka menggali dan mencari harta karun sampai pada perutku. Aku tak tahan. Sehingga aku muntah dan membuat manusia lain menderita. Tapi itu salah mereka. Mengapa tidak memperingati sesamanya untuk tidak semena-mena.

Aku juga memperhatikan para penguasa. Mereka terlihat sibuk dengan urusan-urusan pribadi yang berkedok umum demi popularitas. Mereka hendak menjual rakyat kecil. Kaum marjinal hanyalah menjadi umpan utuk mendapat ikan-ikan besar.

Namun rakyat kecil pun terlihat senyum dengan permainan-permainan para penguasa. Mereka menikmati ketidak tahuannya. Iming-iming baginya sudah lebih dari cukup. Kalaupun mereka tahu akan dirinya yang sedang tidak mendapat perlakuan adil. Mereka hanya bisa diam dan pasrah. Tak pernah ada keberanian yang melawan ketidak adilan dan kesemena-menaan. Diamlah yang menjadi andalan mereka.

Kalau aku perhatikan semuanya. Aku seakan ingin meledak saja. Supaya tak ada lagi benih yang tumbuh macam itu. Aku impikan semuanya dapat diganti dengan manusia yang lebih mulia. Perhatian dan penuh cinta serta kasih sayang. (***)

Gowa, 1 November 2009

These icons link to social bookmarking sites where readers can share and discover new web pages.
  • Digg
  • Sphinn
  • del.icio.us
  • Facebook
  • Mixx
  • Google
  • Furl
  • Reddit
  • Spurl
  • StumbleUpon
  • Technorati