Tukang Becak Harus Sarjana


Sedih bercampur bahagia. Tertawa dan terkadang menangis. Pikiran selalu kacau hanya sesekali dalam kondisi stabil. Antara bahagia dan sensara. Tiap saat, tiap detik hanya ada dalam keragu-raguan. Di atas becak tuanya, Daeng Gassing merenung meratapi nasibnya. Tanpa sadar, tiba-tiba Daeng Gassing mengusap-usap kepalanya lalu membuka diskusi dengan teman-temannya. Pagi itu, di tempat mangkalnya. Di atas becaknya masing-masing terjadi perdebatan hangat diantara mereka. Para tukang becak itu ternyata juga sangat respon terhadap pesta demokrasi yang akan diadakan di Kota itu.

Bagaimana pendapatmu tentang pemilihan walikotayya?”, Tanya Daeng Gassing membuka pembicaan.

Maksudnya Daeng Gassing!?”, Daeng Tompo kembali bertanya dengan nada kurang mengerti.

Maksudku siapa calon ta’ yang kita dukung”.

Tapi katte duluan. Inai katte?

Pembicaraan mereka berlanjut dan saling menyebut nama calon mereka masing-masing. Mereka lalu saling menjatuhkan. Saling mencemooh.

Apaji itu calonmu… apa tonji programnya..!! paling dia hanya cari uang dan mengejar kedudukan. Ero’naji nikana”. Daeng Tompo mulai merendahkan calonnya Daeng Gassing.

Janganki’ bilang begitu dulu… nanti tompi dilihat. Lagian dia tidak ada cacat di masyarakat. Tidak pernah korupsi”. Daeng Gassing membela.

Temannya yang lain mulai membuka mulut. Dia pun bertanya. “Janganki’ bilang begitu tawwa. Calonta iyya, apa programna yang dia andalkan?”.

Menurunkan harga makanan pokok dan barang-barang daganganka. Membasmi koruptor. Dan gratismi pendidikan juga kesehatanka

Iyyo… tapi janganki’ mau diperdaya janji-janji politikus. Lebih banyak bohongnya. Tidak bisa dipercaya”.

Untungji kalau na ingatji kalau terpilihmi. Biasanya alasannaji jai. Tidak ada bukti”. Sahut temannya yang lain.

Sekarang buttia parallu”.

Tempat mangkal mereka bertambah seru dengan diskusi tentang calon walikota dan wakil walikota kebanggaan dan pilihan mereka masing-masing. Mereka sudah tidak sadar penumpang telah banyak lewat. Ditawari oleh penumpang pun mereka tidak sadar. Mereka seakang-akang sudah tidak butuh duit. Padahal masih pagi. Mereka hanya sibuk bertengkar mulut. Saling mengunggulkan calon kebanggaannya. Saling menjatuhkan satu sama lain. Mereka seakan terlihat seperti mahasiswa berdebat masalah ideology. Laksana ulama berdiskusi persoalan khilafiyah. Bagai pejabat sedang sidang membahas rancangan undang-undang. Mereka tidak mau kalah. Mereka mau hanya dia yang terbaik dan paling benar. Hanya calonnyalah yang mampu melakukan perubahan. Mensejahterahkan. Membuat hidup lebih baik.

Suasana tambah panas. Adu mulut makin seru. Mata memerah. Mulut makin komat kamit. Tanpa sadar, Daeng Tompo memegang kayu kecil lalu melempar Daeng Gassing. Seketika itu juga sadar. Mereka baru sadar mereka terlalu jauh mengurusi yang seharusnya bukan urusannya.


Gowa, 13 Oktober 2008


These icons link to social bookmarking sites where readers can share and discover new web pages.
  • Digg
  • Sphinn
  • del.icio.us
  • Facebook
  • Mixx
  • Google
  • Furl
  • Reddit
  • Spurl
  • StumbleUpon
  • Technorati