Sanro

Malam tidak terang juga tidak gelap. Remam-remam malam menghiasi indahnya lampu yang redup. Sebutir bintang terlihat cerah dan bersinar. Hanya cahaya bintang dan lampu redup yang setia menemaniku malam itu. Dalam kesendirianku aku lama merenung. Meratapi nasib yang ku alami. Kudiperhadapkan pada persoalan pilihan. Ku harus memilih antara ia atau tidak. Ikut atau bertahan. Menuruti nasehat orang lain atau tetap pada keyakinan yang selama ini tertanam dalam diriku.

Sebentar lagi pemilihan kepala desa akan segera digelar. Aku tak habis fikir bagaimana strategi untuk memenangkan Pilkades itu. Aku belum puas dengan hasil survey tim suksesku. Walaupun survey mengatakan akulah pemenang. Tapi itu belum pasti. Aku tak mau Cuma unggul dalam survey. Tidak dalam kenyataan. Aku khawatir seperti pada Pilkada Jawa Barat. Unggul dalam survey ternyata kalah. Aku tidak mau itu.

“Aku harus menang..!!!”.

Ku berteriak sekuat mungkin. Supaya malam menjadi saksi bisu. Agar malaikat mendengar tekadku yang begitu kuat. Kubiarkan teriakanku memecah kesunyian malam. Supaya malam dan babi hutan turut bersaksi. Aku benar-benar ingin berjuang demi rakyat.

Di tengah kebun. Di atas gubuk tempat aku menyendiri. Aku mendengar suara asing.

“Datanglah ke Daeng Sattu. Niscaya kamu akan dibantu”.

Suara asing itu terdengar sangat jelas. Tiga kali suara itu berulang dengan nada yang sama.

Aku sedikit takut. Jantungku terasa berdebar. Pompa jantungku semakin cepat. Aku teringat pada nasehat mertuaku.

“Kamu ke Daeng Sattu supaya nanti kamu menang melawan calon yang lain”.

Begitupun warga pendukungku. Mereka menyararankan untuk mencari obat supaya orang banyak suka padaku. Bunga ria-ria, orang kampung bilang. Atau paling tidak pendukung tidak berpindah pilihan. Supaya selalu setia pada pilihan semula.

Lama terpikir olehku. Suara tadi begitu jelas. Lawan politikku semuanya punya sanro. Semuanya dukun terkenal yang mereka datangi. Mereka tidak mau ke dukun yang ada di kampung. Mereka gensi.

Daeng Sattu, dukun yang dikenal warga mujarab do’anya. Ia sanro bisayya pabballena. Tinggal ia yang tidak didatangi oleh lawan politikku. Hanya ia sanro yang kukenal rajin shalat berjamaah di masjid. Yang lainnya tidak.

Malam itu, kubenar-benar dilematik. Mempertahankan antara keyakinan dan cita-cita. Aku sulit mempercayai baca-baca sanro. Aku tidak mau dicap Pak Ustadz orang sirik. Aku tidak mau hanya gara-gara pangkat dan jabatan menjatuhkanku pada jurang api neraka. Cuma kedudukan membuat imanku ternodai. Aku tak mau itu.

Pikiranku melayang-layang. Terbang kesana kemari mencari angin segar. Mencari solusi permasalahan.

Pikiranku hinggap pada daun sajadah. Kuingat Tuhan. Kuputuskan untuk shalat. Minta petunjuk pada sang Maha Mengetahui. Maha Pemberi Petunujk. Di atas gubuk itulah, kutengadahkan tanganku. Kurapakan jidatku. Minta petunjuk. Shalat istikharah. Kemudian kulanjutkan dengan shalat hajat. Tak terasa suara kokok ayam berbunyi. Kumandang subuh pun bergemah. Aku meninggalkan gubuk itu lalu bergeser ke mesjid.

* * *

Sinar mentari membangunkanku. Kubuka mataku perlahan. Kupandang karpet di lantai itu. Lalu kuperhatikan kaligrafi yang menempel pada dinding masjid itu. Kubaru sadar kalau aku tertidur dalam masjid. Aku langsung bangun. Pergi ke rumah.

“Dari mana saja kamu semalam?”, mertuaku menyambut.

Ada urusan sedikit…”, jawabku.

“Begini nak, sebentar kan malam jumat. Setuju tidak kamu ke Daeng Sattu. Dukun itu..”. mertuaku mengalihkan pembicaraan.

“…………..”.

“Kok kamu diam aja. Kelihatan pusing begitu. Mau tidaknya kan terserah kamu juga. Kami tidak memaksa kok”.

Aku menarik nafas panjang. Menarik nafas dalam-dalam. Aku memikirkan suara tadi malam. Suara itu masih terniang di telingaku. “Ahh…. Iya aku setuju tuk kesana. Ke Daeng Sanro. Tapi tidak pakai jampi-jampiji to?”.

“Tidakji… namanya juga minta doa. Kan Allah bilang, mintalah pasti akan kukabulkan. Berusaha sambil berdoa. Iya kan?”.

“Iya. Tapi mengapa harus dia yang mendoakan?”.

“Makin banyak yang mendoakan makin bagus kan? Mengapa harus dia… karena doanya biasanya maqbul”.

Di Sanro itu, aku mendapatkan petuah-petuah penyejuk jiwa. Banyak pelajaran hidup yang dapat kupetik. Pelajaran agama pun tak lupa menyertainya.

Sepulang dari sana, hati ini terasa tenang. Ibadah tambah ringan. Ternyata Daeng Sattu bukan hanya sanro. Tapi juga ustadz dan penasehat spiritual. Wajahnya berseri. Bersinar.

Pemilihan pun telah digelar. Dengan sikap tenang menghadapi lawan. Akhirnya aku terpilih menjadi pemenang…(***)

Gowa, 20 Oktober 2008*

These icons link to social bookmarking sites where readers can share and discover new web pages.
  • Digg
  • Sphinn
  • del.icio.us
  • Facebook
  • Mixx
  • Google
  • Furl
  • Reddit
  • Spurl
  • StumbleUpon
  • Technorati